Halo anak rantau, mana nih suaranya?
Bagaimana kabarnya selama melangsungkan puasa di perantauan? Buat kamu yang termasuk anak perantauan, kayaknya gak perlu ditanya lagi gimana rasanya menjalani ibadah puasa di perantauan. Memang rasanya tidak bisa digambarkan, bagaimana keinginan kita ingin sekali pulang dan melakukan ibadah puasa bersama orangtua dan saudara yang ada di kampung halaman.
Aku ditahun ini memang belum bisa pulang, ya karna beberapa sebab atau suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan seperti pekerjaan dan perkuliahan. Walau sebenarnya ini bukan kali pertama aku merasakan harus berpuasa ramadhan di kota perantauan. Jadi penyesuaian yang kulakukan tidak lagi sesulit sejak pertama kali aku merasakan hal tersebut.
Rasa sedih yang aku rasakan pasti ada, tapi bagiku ini merupakan suatu perjuangan bagi diriku sendiri atas resiko yang sudah seharusnya terjadi ketika aku memutuskan untuk belajar jauh dari rumah atau merantau. Dan sebenarnya aku cukup bangga, karna dari situ lah aku bisa membentuk dan mengasah kemandirianku. Seperti contohnya, aku bisa melakukan banyak hal sendiri tanpa bergantung pada siapapun. Selain itu, aku juga belajar untuk lebih bijak dalam mengatur jadwal ketika bulan Ramadhan ini. Salah satu yang harus aku atur ulang adalah bagianku dalam manajemen diri. Menentukan kembali prioritas dan menggunakan waktu sebaik mungkin, karena pada bulan Ramadhan ini, banyak kegiatan – kegiatan yang menyesuaikan jadwal berpuasa. Sebenarnya mendisiplinkan diri dengan management diri itu bukanlah sutau hal yang memberatkanku, karena diluar dari waktu puasa di bulan Ramadhan, hal itu sudah terlebih dahulu aku lakukan. Namun, aku tetap harus lebih bisa disiplin lagi dalam melakukannya.
Meskipun ini adalah puasa kesekian kalinya sendirian, tetap ada penyesuaian yang aku lakukan, meskipun kurang lebih sama seperti hari-hari biasanya. Seperti harus memilih dan membuat makanan sendiri ketika ingin sahur dan berbuka, entah memasak, membeli makan di luar, ataupun mengambil makanan gratis dari fasilitas yang disediakan oleh kampus tempatku berkuliah. Aku juga harus bisa menyesuaikan dan membiasakan diriku ketika ingin bangun untuk sahur. Aku lebih sering bergantung pada alarm atau bahkan tidak tidur karna takut kebablasan. Termasuk juga penyesuaian tentang bagaimana aku mengontrol diri dan disiplin agar dapat beribadah secara optimal.
Apakah kalian ada yang merasakan dan melakukan hal yang sama? Tenang aja.. tidak perlu khawatir apalagi bersedih hati. Justru dengan hal – hal itu kita bisa latihan untuk mengandalkan diri sendiri sepenuhnya. Lagipula kamu kamu gak sendirian, kok. Banyak teman lainnya yang ada di posisi yang sama seperti kita. Jadi harus tetap semangat ya.
Oiya, bagiku sendiri, kesamaan latar belakang sebagai anak perantauan, biasanya akan membangkitkan rasa solidaritas antara satu sama lain. Aku selalu menganggap bahwa teman-teman perantauanku adalah keluarga. Karna bagiku keluarga adalah orang yang selalu mengingatkan, melindungi, dan menyayangi satu sama lain. Ini justru dapat menjadi sebuah pengalaman dan pelajaran yang berharga dan kelak suatu hari nanti itu akan menjadi cerita untuk dikenang. Tapi semua cerita dan perjalanan itu bisa berjalan lancar dan dinikmati, ketika sudah menerapkan manajemen diri dengan baik, karena hal tersebut akan memudahkan adaptasi diriku dalam hal apapun di perantauan.
Segitu dulu ya cerita Puasa Ramadhan di Tanah Rantau. Makasih banyak buat kamu yang udah terus support aku dalam bentuk apapun. Tetap semangat ya semuanya!
See you in another Video, Photo, or Blog at
@hayaqilaa on Instagram and @hayaqilaa on TikTok. Thank you guys!
Komentar
Posting Komentar